Selasa, 18 Januari 2022

HUKUM KOTORAN CICAK

HUKUM KOTORAN CICAK

 

Mayoritas ulama menegaskan bahwa binatang yang tidak memiliki darah merah yang mengalir, seperti serangga, dan sebangsanya, bangkainya tidak najis, demikian pula kotorannnya.


Dan mengenai cicak, mayoritas ulama mengatakan bahwa cicak termasuk binatang yang tidak memiliki darah mengalir.


Imam Nawawi Menegaskan dalam kitabnya :

 

وأما الوزغ فقطع الجمهور بانه لا نفس له سائلة


Dan adapun untuk cicak, mayoritas ulama menegaskan, dia termasuk binatang yang tidak memiliki darah merah yang mengalir. (Kitab Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz I, halaman 129)


Imam Ramli juga menegaskan dalam kitabnya :

 

( وَيُسْتَثْنَى ) مِنَ النَّجَسِ ( مَيْتَةٌ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ ) عَنْ مَوْضِعِ جُرْحِهَا إمَّا بِأَنْ لَا يَكُوْنَ لَهَا دَمٌ أَصْلًا أَوْ لَهَا دَمٌ لَا يَجْرِي كَالْوَزَغِ وَالزُّنْبُوْرِ وَالْخُنْفُسَاءِ وَالذُّبَابِ ( فَلَا تُنَجِّسُ مَائِعًا )


Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memiliki darah, namun tidak mengalir. Seperti cicak, tawon, kumbang, atau lalat. Semuanya tidak najis bangkainya. (Kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Juz I, halaman 237).


Kemudian dalam mazhab Syafi’i, hewan yang tidak mengalir darahnya kotorannya dimakfu (dimaafkan).

Dalam kitab Hasyiyah Qolyubi, hlm. 1/209, dijelaskan:

 

(ويعفى) أي في الصّلاة فقط، أو فيها وغيرها ما مرّ على عامر. قوله: (عن قليل دم البراغيث) ومثله فضلات ما لا نفس له سائلة. قال شيخ شيخنا عميرة ومثله بول الخفّاش، كما في شرح شيخنا ورجّح العلّامة ابن قاسم العفو عن كثيره أيضا. قال وذرقه كبوله، وقال تبعا لابن حجر، وكذا سائر الطّيور، ويعفى عن ذرقها وبولها، ولو في غير الصّلاة على نحو بدن أو ثوب قليلا أو كثيرا رطبا أو جافّا ليلا أو نهارا لمشقّة الاحتراز عنها فراجعه مع ما ذكروه في ذرق الطّيور في المساجد

 

Artinya: “Dimaafkan juga darah kutu yang sedikit. Sama dengan itu (dimakfu) adalah kotoran yang keluar dari tubuhnya hewan yang tidak mengalir darahnya. Ini pendapat Syaikh Umairah. Termasuk dimakfu adalah kencing kelelawar. Sebagaimana keterangan dalam penjelasan guru kita. Ibnu Qasim mengunggulkan pendapat dimakfunya kencing kelelawar yang banyak juga. Ibnu Qasim berpendapat bahwa kotoran kelelawar sama halnya seperti kencingnya, pendapat beliau ini mengikuti Imam Ibnu Hajar, dan hal ini sama dengan jenis burung yang lainnya. Kotoran dan air kencingnya hukumnya dima’fu meskipun itu terjadi dalam selain shalat seperti terkena pada badan atau baju, baik najisnya sedikit atau banyak, basah ataupun kering, dan malam atau siang dikarenakan sulit untuk menjaganya, dan apa yang telah tertuturkan tadi itu hukumnya sama (dima’fu) dengan kotoran burung yang berada di dalam masjid.”


Dalam masalah ini mayoritas ulama’ mengatakan bahwa kotoran cicak sama dengan kotoran-kotoraan hewan-hewan lainnya yang tak berdarah atau berdarah tapi tidak dapat mengalir yang secara qaidah dinyatakan bahwa segala hewan yang tak berdarah atau berdarah tapi tidak mengalir semuanya adalah suci termasuk kotorannya.


Selanjutnya, mengigat cicak bagian  dari hewan yang sulit dihindari yang selalu saja berkeliaran hidup bersama manusia yang tentunya kotorannya dapat dijumpai disegala titik maka ia tergolong dari hal-hal yang makfuat (sekalipun najis maka dimaafkan).


Maka sudah jelas hukum kotoran cicak itu dimakfu (dimaafkan).


Wallahu A’lam...